Senin, 01 Mei 2017

Sepinya Negarawanan: Pesan Dari Buya Syafii Maarif

Siapa Buih, Siapa Air 
Jujur sampai detik ini saya masih belum faham atau barangkali masih kurang bisa berpikir jernih dalam membaca peta keadaan grassroot terutama perihal fenomena gelombang protes 411, 212 dan 412 yang menyedot perhatian rakyat Indonesia bahkan dunia.Saya menukil pesan Buya Syafi’i Ma’arif tentang perlunya kesabaran yang super ektra untuk melihat dengan jernih mana sebenarnya yang buih dan mana yang air. Buya berpesan untuk membuktikan hal itu harus bersabar menunggu banjir reda terlebih dahulu. Sayangnya alih-alih ikuti pesan Buya, para elit justru gegabah tidak mau menahan diri. Padahal riak-riak kecil yang dibangun dari sikap geganah dan tidak mau menahan diri tersebut sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi gelombang. Riak tetaplah riak yang hanya muncul sesaat saja.
Pasangsurut Demokrasi    
Jika bangsa ini mau merenung dan sedikit menyediakan waktu untuk muhasabah, kalimat-kalimat ujaran dari Buya yang jernih tersebut sesungguhnya mengajak seluruh elemen bangsa untuk bermawas diri.Jika kita mau membaca sekali lagi gagasan Buya Syafi’i Ma’arif secara utuh sebetulnya telah jelas dalam karyanya yang berjudul Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah. Gagasan Keindonesiaan dan Kemanusiaan yang utuh tidak parokial terlebih sektarian kaku. Bagi mereka yang buta peta tentunya akan segera cepat-cepat memvonis Buya sebagai sekurelis yang tidak mau membela Islam. Padahal beliau dengan jernih menyimpulkan bahwasanya Demokrasi di Indonesia sejak zaman Soekarno hingga masa reformasi selalu mengalami pasang surut. Pasangsurut tersebut terjadi salah satunya karena perilaku elit yang kurang berhati lapang dan bertanggungjawab. Mereka mengidap penyakit miopik, parokial bahkan sektarian sempityang membuat mereka selamanya tidak mau naik kelas menjadi negarawan. Menurut Buya penyakit tersebut seakan telah akut dan kronis diidap oleh politisi Indonesia saat ini. 

Sindrom Miopik dan Parokial 
Buya mengingatkan sekaligus membuka cakrawala bangsa ini agar semua fihak  mau membuka peta kondisi bangsa saat ini yang menurutnya masih jauh dari harapan para pendiri bangsa. Kondisi sindrom miopik dan parokialbahkan bisa meningkat menjadi sektarian kakudapat menjadikan negeri ini kian bertambah terpuruk.Barangkali jika para elit di negeri ini mau sekali lagi membaca peta sosio-historis dan kemudian berlapang dada serta mau merefleksikan nilai-nilai Ke-Indonesiaan dan Kemanusiaan tentunya bangsa ini akan mampu melambung tinggi dan dihormati oleh-bangsa-bangsa lain di planet bumi. Secara historis kenegarawanan para pendiri bangsa telah teruji dengan diputuskannya Pancasila sebagai rumusan final dasar negara. Diantara yang teruji itu yang paling teruji sebenarnya adalah ada pada pihak umat Islam yang dengan legowo dan lapang dada menerima Pancasila sebagai dasar negara.Yudi Latief memahami kesepakatan yang luar biasa tersebut sebagai kesepakatan yang Paripurna.Menurutnya, NKRI dan Pancasila adalah rumusan final yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.
Buya Prihatin!   
Buya tampaknya kecewa karena refleksi-refleksi kebangsaan dan kenegarawanan para pendiri bangsa itu tidak berlanjut dari zaman awal kemerdekaan hingga reformasi. Yang terjadi justru kepentingan golongan, partai dan pribadi yang lebih kentara ke permukaan ketimbang mengedapankan nasib bangsa ini yang sebenarnya punya potensi sumberdaya alam yang luar biasa. Jika mereka mau berpikir jernih dan keluar dari sekat-sekat sektarian dan parokial itu barangkali sumberdaya alam negeri ini dapat dikelola secara baik untuk kemakmuran rakyat. Sejarawan Van Niel dalam bukunya yang berjudul Munculnya Elit Modern Indonesiamenjelaskan bahwasanya kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan berawal dari gagasan-gagasan kenegarawanan para pendiri bangsa yang mau melepaskan baju kedaerahannya dan menggantinya dengan baju kebangsaan. Perjuangan pada era pra-Kemerdekaan diberbagai daerah mudah sekali digagalkan oleh penjajah karena masih bersifat parokial sentris. Buya seakan memperingatkan pada bangsa ini terutama para elit agar tidak lagi terjebak dengan hal-hal yang bersifat parokial terlebih sektarian jika bangsa ini benar-benar ingin bangkit dan melambung tinggi.

Anhar Gongong dalam kesempatan diskusi kebangsaan di salah satu stasiun televisi juga berujar keras menyatakan bahwasanya sejak masa Soekarno hingga pemerintahan saat ini belum pernah ada yang secara utuh mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara sadar dan sungguh-sungguh.Pancasila masih sebatas sebagai pidato-pidato saat upacara-upacara kenegaraan saja. Praktiknya nanti dulu. Mendengar ketegasan dari Anhar Gonggong tersebut tentunya sangat miris. Ini seakan semakin mempertegas bahwa sesungguhnya dalam Bernegara dan Ber-Ke-Indonesiaan serta Berdemokrasi, elit negeri ini masih belum siap bahkan setengah hati.

Buya Ajak Bangsa Move-On 
Sekali lagi, Buya mengajak bangsa ini untuk move-onserta ucapkan sayonara pada semua sistem politik yang anti demokrasi yang mengekang kebabasan warga! Nabi secara praksis telah mengajarkan nilai-nilai Berkebangsaan dan Berdemokrasi kepada penduduk planet bumi. Bahkan Buya mengajak kita untuk mencontoh praktek-praktek berdemokrasi yang pernah dilakukan oleh Nabi yang dianggap paling egaliter. Sebagai penutup tulisan, marilah kita simak tulisan dari Al- Musawi seorang tokoh intelektual Syi’ah moderat sebagai berikut.
Dari awal dakwahnya sampai akhir hidupnya Rasulullah Saw. Telah mengajarkan sistem demokrasi kepada umat Islam. Hal ini tidak akan ditemukan pada masa dan bangsa-bangsa manapun, sekalipun pada masa yang paling modern seperti sekarang ataupun pada bangsa-bangsa yang paling demokratis di dunia ini. Dalam sejarah demokrasi, baik yang kuno maupun modern, saya tidak menemukan adanya tipe kepemimpinan seperti Rasulullah. Dialah pendiri negara, pemikir dan tokoh masyarakat yang mau duduk bersama dengan para sahabatnya. Jika mereka sudah berkumpul dalam satu mejelis (dalam bentuk lingkaran), tidak adalagi perbedaan antara kelompok depan dan keompok belakang. Alhasil, semua yang hadir kedudukannya sama sejajar dengan sang pemimpin.
Akhirnya, Buya seakan ingin memberikan pesan kepada khalayak khususnya para elit agar tidak buta peta akan nilai-nilai kebangsaan, ke-Indonesiaan dan Kemanusiaan. Kita sudah sepakat memilih sistem demokrasi sebagai landasanhidup berkebangsaan seyogyanya secara konsekuen dipraktikkan. Hak-hak kebebasan tiap warga harus dijunjung tinggi. Termasuk hak-hak keberagaman dan keberagamaan. Dengan saling berlapang dada maka akan terbuka pintu keamanan dan kenyamanan bagi seluruh penduduk Indonesia. Kenyamanan ini perlu terus dirajut untuk membangun dan mengelola sumber daya alam negeri ini untuk kepentingan kemakmuran bangsa. Singkat kata, untuk menuju itu semua latihan fisik atauolah fikir saja tidak akan cukup untuk mengatasi segala persoalan-persoalan bangsa ini jika tanpa diimbangi dengan latihan spiritual yang keras.

Karya: Muhammad Iqbal Birsyada, M.Pd Dosen Universitas PGRI Yogyakarta


0 komentar:

Posting Komentar