Senin, 12 Maret 2018

Sosiologi Marxis Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Bagi rezim pemerintahan yang berkiblat pada sistem ekonomi kapitalisme, pemikiran dan tulisan Karl Marx bukan lagi dianggap karya intelektual di bidang sosiologi, ekonomi, politik melainkan sebuah buku berbahaya yang dapat membangkitkan kesadaran kelas sebuah masyarakat dan mampu memobilisasi tindakkan-tindakkan anarkis yang mengancam stabilitas. 

Bahkan di tahun 1940-an negara-negara di dunia terbagi menjadi Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis yang mendasari pada pemikiran-pemikiran Karl Marx yang telah dikonstruksi dan bekukan menjadi ideologi resmi Partai Komunis. Era ini dikenal dengan istilah Cold War atau “Perang Dingin” yaitu konflik yang tidak melibatkan kekuatan senjata militer di antara negara Blok Barat (Amerika dan sekutunya) dan negara Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) namun kedua belah pihak memiliki senjata pemusnah massal yaitu senjata nuklir yang jika sewaktu-waktu konflik tidak langsung menjadi konflik terbuka maka dunia akan terlibat dalam perang yang mengerikkan. Kedua blok negara yang bertentangan saling berkompetisi membangun teknologi militer dan pengembangan sains serta saling menyebarluaskan pengaruh ideologi ke negara sekutunya masing-masing.

Namun demikian, pemikiran-pemikiran Karl Marx dalam bukunya tidak hanya membentuk struktur ideologi politik yang membagi dunia menjadi kubu yang saling berinteraksi secara asimetris semata namun menjadi sumber kajian sosial kritis dalam menganalisis kenyataan sosial yang dibentuk oleh sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan modernitas. Dengan kata lain, pemikiran Karl Marx tetap hidup dan aktual sekalipun sejumlah teorinya telah kehilangan relevansi. Teori-teori Karl Marx menjadi sumber mata air pemikiran ilmu sosial kritis khususnya Sosiologi baik di era fasisme yang melanda Eropa di bawah kepemimpinan Hitler maupun era Perang Dingin bahkan paska keruntuhan komunisme. Sosiologi Marxis menjadi sebuah istilah yang dilekatkan pada analisis dan kajian sosial dengan berbasis analisis sosial Kar Marx sebagaimana dikatakan Ashley Crossmen, “Marxist sociology is a way of practicing sociology that draws methodological and analytic insights from the work of Karl Marx. Research conducted and theory produced from the Marxist perspective focuses on the key issues that concerned Marx: the politics of economic class, relations between labor and capital, relations between culture, social life, and economy, economic exploitation, and inequality, the connections between wealth and power, and the connections between critical consciousness and progressive social change”(Sosiologi Marxis adalah cara mempraktikkan sosiologi dengan menggunakanwawasan metodologis dan analitis dari karya Karl Marx. Penelitian yang dilakukan dan teori yang dihasilkan dari perspektif Marxis berfokus pada isu-isu kunci yang menyangkut Marx al., politik ekonomi kelas, hubungan antara tenaga kerja dan modal, hubungan antara budaya, kehidupan sosial, dan ekonomi, eksploitasi ekonomi, dan ketidaksetaraan, hubungan antara kekayaan dan kekuasaan, dan hubungan antara kesadaran kritis dan perubahan sosial yang progresif) . Teori Kritis Mazhab Frankfurt merupakan salah satu bentuk Sosiologi Marxis dari sekian pemikir lain di luar Mazhab Frankfurt.

Latar Belakang Kelahiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt
Salah satu dari pemikiran Karl Marx yang dihidupkan dan diaktualisasikkan menjadi pisau analisis sosial adalah dengan kehadiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Secara historis, lahirnya Teori Kritis Mazhab Frankfurt dilatarbelakangi oleh sejumlah kebekuan dan stagnasi terhadap konsepsi Karl Marx yang dimulai sejak Internasionale II (1889) dimana ajaran Karl Marx dalam Das Kapital menjadi sebuah pandangan “determinisme ekonomi” yang memastikan datangnya era sosialis sebagai kepastian alamiah menggantikan era kapitalis. Selain itu saat Revolusi Bolshevick (1917) berhasil menjatuhkan rezim Tsarisme Rusia, terjadi proses “Bolsevisasi” dan “Stalinisasi” dimana ajaran Karl Marx menjadi sebuah ideologi tertutup yang tidak boleh ditafsir ulang bahkan dikritisi.

Kebekuan konsepsi Karl Mark yang berubah menjadi “determinisme ekonomi” dan “ideologisasi” melahirkan sejumlah pemikiran kritis yang hendak mengaktualisasikan kembali pemikiran-pemikiran Karl Marx. Generasi awal pencetus pemikiran kritis berbasis konsepsi Karl Mark adalah seorang aktivis Parta Komunis Honggaria bernama George Lukacs (1885-1971). Lukacs menolak determinisme ekonomi dan memfokuskan pada peranan kesadaran kelas proletariat sebagai subyek dialektika sejarah dan perubahan masyarakat yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul, Geschicte und Klassebewusstsein (1923). Generasi kedua yang menghidupkan pemikiran Karl Marx adalah aktivis Partai Komunis Jerman bernama Karl Korsch (1889-1961). Korsch mencoba kembali membangun kesadaran emansipatoris dan aplikasi praktis teori Karl Mark bagi kepentingan kelas proletar sebagaimana diungkapkan dalam bukunya, Marxismus und Philosophie (1923). Namun kebijakkan partai tidak bisa menerima pembaruan konsepsi pemikiran Mark yang disajikkan kedua tokoh di atas dan mereka dikeluarkan dari keanggotaan partai. 

Jika George Lukacs dan Karl Korsch didudukkan sebagai gelombang pertama yang mencoba menghidupkan kembali pemikiran Karl Marx maka gelombang kedua dilakukan oleh Mazhab Frankfurt dengan Teori Kritisnya (Kritische Theorie). Dinamakan Mazhab Franfurt dikarenakan lembaga penopang para pemikir Teori Kritis ini bernama Institut fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923. Institut fur Sozialforschung sendiri adalah salah satu jurusan resmi pada Universitas Frankfurt yang dirintis oleh seorang sarjana ilmu politik bernama Felix Weil. Ide Mazhab Frankfurt menunjuk bukan hanya pada nama sebuah institusi melainkan pada sebuah pemikiran sebagaimana dikatakan Muhamad Supraja, “Ide Sekolah Frankfurt (Frankfurt School) sesungguhnya menunjuk pada dua arti. Pertama, sebagai institusi . Kedua, sebagai mode pemikiran (mode of thought). Sebagai institusi terjelma dalam Institus of Social Research yang didirikan oleh sekelompok intelektual muda Frankfurt, awal 1923... sebagai mode pemikiran (mode of thought) para anggota Institut Penelitian Sosial mengembangkan gagasan-gagasannya dalam suatu kerangka pemikiran teoritik”. 

Dari sejumlah nama tokoh dan anggota institut berikut beberapa nama tokoh yang menonjol dan terkemuka yaitu Theodor Wiesengrund-Adorno (filsuf dan sosiolog), Max Horkeimer (Direktur pertama institut, sosiolog dan psikolog) serta Herbert Marcuse (filsuf). Nama-nama tokoh di atas kerap diidentifikasi oleh sejumlah penulis sebagai Generasi Pertama Teori Kritis dan untuk Generasi Kedua Teori Kritis dilekatkan pada Jurgen Habermas yang dijuluki oleh filsuf hermeneutik Hans-Georg Gadamer sebagai “master komunikasi” . 

Yang membedakkan karakteristik pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt dengan pemikiran sebelumnya yang berusaha mencairkan kebekuan akibat pembekuan pemikiran Karl Marx melalui ideologisasi oleh Partai Komunis sebagaimana dikatakan F. Budi Hardiman, “Perbedaan yang cukup penting antara Mazhab Frankfurt dan Marxisme kritis gelombang pertama adalah sikap independen mereka dari partai Marxis, baik dari kubu Sosial Demokrat maupun Komunis. Secara praktis maupun teoritis, mereka tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma, melainkan sebagai alat analisis”. Tekanan pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt adalah aktualisasi pemikiran Karl Marx untuk membaca realitas sosial yang dibentuk oleh kapitalisme dan modernitas sebagai hasil Aufklarung (Pencerahan) bukan sebagai alat revolusi sekalipun bertujuan untuk melakukan perubahan sosial sebagaimana dikatakan Martin Jay, “Namun yang mendasari semuanya, adalah tujuan perubahan sosial. Dalam mengaitkan penelitian dengan praxis, Institut berhati-hati membedakkan pendekatannya dari pragmatisme”. Perihal pragmatisme, Martin Jay menjelaskan, “Pragmatisme mengabaikkan fakta bahwa beberapa teori mengacaukkan realitas masa kini dan selalu menentangnya, namun itu semua tidak salah. Implikasi pragmatisme kemudian lebih bersifat kompromis daripada kritis, di tengah-tengah pretensi yang menyelimutinya: seperti positivisme, dia kekurangan sarana untuk keluar dari fakta-fakta yang ada”.

Konsep dan Metodologi Teori Kritis Mazhab Frankfurt
Istilah Teori Kritis sendiri bermula dari sebuah esai yang ditulis dalam Zeitchrift (nama sebuah majalah) tahun 1957 oleh Max Horkeimer. Istilah “Teori Kritis” muncul pertama kalinya dan dipertentangkan dengan “Teori Tradisional” dalam esai berjudul, Traditionelle und Kritische Theorie (Teori Tradisional dan Teori Kritis). Horkeimer memberikan penjelasan perihal istilah “Teori Tradisional” sbb, “The  traditional  idea  of  theory  is  based  on  scientific  activity  as  carried  on  within  the  division  of  labor  at  a  particular stage  in  the latter's development.  It  corresponds  to  the  activity  of  the  scholar  which  takes  place  alongside  all  the  other  activities  of  a  society  but  in no  immediately  clear  connection  with  them.  In  this view  of  theory,  therefore,  the  real social  function  of  science  is  not  made  manifest;  it  speaks  not  of  what  theory  means  in  human  life,  but  only  of  what  it  means  in  the  isolated  sphere  in  which  for  historical  reasons  it  comes  into  existence.  Yet  as  a  matter  of fact the  life  of  society  is  the  result  of  all  the  work  done  in  the  various  sectors  of  production (Ide tradisional teori didasarkan pada aktivitas ilmiah yang dijalankan di dalam pembagian kerja pada tahap tertentu dalam perkembangan terakhir. Ini sesuai dengan aktivitas cendekiawan yang berlangsung bersamaan dengan semua aktivitas masyarakat lainnya namun tidak segera berhubungan dengan mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan teori ini, fungsi sains sosial sebenarnya tidak terwujud; Ini bukan tentang teori apa yang berarti dalam kehidupan manusia, tapi hanya tentang apa artinya di lingkungan terpencil dimana untuk alasan historis, keberadaannya ada. Padahal sebenarnya kehidupan masyarakat adalah hasil dari semua pekerjaan yang dilakukan di berbagai sektor produksi) . Teori Tradisional yang dimaksudkan oleh Horkeimer adalah teori-teori yang dibangun di atas fundasi Aufklarung (Abad Pencerahan) yang melahirkan dua kutub pemikiran yaitu Empirisme yang mendasarkan metodologi induksi (penyimpulan umum dari data-data khusus) dan Rasionalisme yang mendasarkan pada metodologi deduksi (data-data yang diperoleh untuk mendukung penyimpulan umum). Kedua kutub pemikiran tersebut memiliki kesamaan disamping perbedaan yaitu keduanya hendak mencapai sebuah proposisi umum tentang suatu subyek. 

Tujuan Teori Tradisional hendak membangun konsep-konsep umum tentang realitas yaitu suatu “a universal systematic science”. Konsep-konsep umum tersebut dipelakukan sebagai alat untuk menganalisa berbagai kenyataan. Teori Tradisional selalu mengklaim tidak berpihak alias netral serta mengalaskan pada asumsi-asumsi ilmu pengetahuan alam yang matematis untuk diterapkan dalam penilaian terhadap seluruh realitas termasuk realitas sosial. Bahkan Teori tradisional tidak bermaksud sedikitpun mempengaruhi fakta yang hadir di hadapannya karenan fakta dianggap sebagai obyektif dan natural apa adanya. 

Melihat klaim-klaim di atas, Teori Tradisional dituding oleh Horkeimer sebagai “teori yang bersifat ideologis” . Klaim kenetralannya menjadi kedok pelestarian keadaan yang ada. Realita yang ada di hadapan mata dianggap ada secara natural tanpa intervensi dan konstruksi siapapun. Jika ada struktur penindasan dibalik sebuah kebijakkan, maka Teori Tradisional tidak mencoba untuk menganalisis lebih jauh faktor-faktor yang meletarbelakangi melainkan menerimanya begitu saja sebagai sebuah realitas. Demikian pula klaim Teori Tradisional perihal pemutlakkan penggunaan sains dianggap sebagai bentuk pemikiran “ahistoris”. Pemikiran yang menganggap sains atau ilmu pengetahuan alam dan matematis menjadi sumber kemajuan dan perubahan adalah pengabaian sebuah fakta bahwa kehidupan manusia bukan hanya membutuhkan pencapaian-pencapaian terhadap sains dan bukan hanya ditentukkan oleh kemampuan sains melainkan faktor-faktor keilmuan lainnya yang menunjang aktivitas-aktivitas masyarakat secara keseluruhan. Klaim lain dari Teori Tradisional bahwa fakta hanya dilihat sebagai kenyataan natural dan lahiriah dianggap sebagai upaya yang memisahkan antara teori dan praxis. Seharusnya konsep-konsep teoritis bertujuan praxis dan bukan hanya ilmu untuk ilmu atau teori untuk teori itu sendiri .

Istilah “Teori Tradisional” dihadapmukakan dengan istilah “Teori Kritis” yang dijelaskan oleh Horkeimer sbb, “Critical  thought  and  its  theory  are  opposed  to  both  the  types  of   thinking   just  described.   Critical   thinking  is   the   function   neither  of  the  isolated  individual  nor  of  a  sum-total  of  individuals. Its subject is  rather a  definite  individual  in  his  real  relation  to other individuals  and  groups, in his  conflict  with  a  particular  class, and, finally, in  the  resultant web  of  relationships  with  the  social  totality  and  with  nature.  The  subject  is  no  mathematical  point  like  the  ego  of  bourgeois  philosophy;  his  activity  is  the construction  of  the  social  present.  Furthermore,  the  thinking  subject  is  not  the  place  where  knowledge  and  object  coincide,  nor consequently the starting-point  for  attaining  absolute  knowledge.  Such  an  illusion  about  the  thinking  subject,  under  which  idealism has lived since Descartes, is  ideology  in  the  strict sense, for in  it  the limited  freedom  of  the bourgeois  individual  puts  on  the illusory form  of  perfect  freedom  and autonomy. As  a  matter  of fact, however, in a society which is  untransparent  and without self-awareness   the  ego,  whether  active   simply   as  thinker  or  active  in other ways  as well,  is  unsure  of  itself  too.  In  reflection  on  man,  subject  and  object  are  sundered;  their  identity  lies  in  the  future,  not  in  the  present.  The  method  leading  to  such  an  identification  may  be  called explanation  in  Cartesian  language,  but  in  genuinely  critical  thought  explanation signifies  not  only  a  logical  process  but  a  concrete  historical  one  as  well.  In  the  course  of  it both the  social  structure  as a whole  and the  relation  of  the theoretician to society  are altered,  that is both the  subject  and  the  role  of   thought   are  changed.  The  acceptance  of   an   essential  unchangeableness  between  subject,  theory,  and  object  thus  distinguishes  the  Cartesian  conception  from  every  kind  of  dialectical logic. (Pemikiran kritis dan teorinya bertentangan dengan kedua tipe pemikiran yang baru saja dijelaskan. Pemikiran kritis adalah fungsi bukan individu yang terisolasi bukan pula jumlah total individu. Subjeknya adalah individu yang pasti dalam relasinya yang sebenarnya kepada individu dan kelompok lain, dalam konfliknya dengan kelas tertentu, dan akhirnya, dalam jaringan hubungan yang dihasilkan dengan keseluruhan sosial dan alam. Subjek bukanlah titik matematis seperti ego filsafat borjuis; Aktivitasnya adalah pembangunan sosial sekarang. Selanjutnya, subjek berpikir bukanlah tempat di mana pengetahuan dan objek bertepatan, atau akibatnya titik awal untuk mencapai pengetahuan mutlak. Ilusi semacam itu tentang subjek pemikiran, di mana idealisme telah hidup sejak Descartes, adalah ideologi dalam pengertian yang ketat, karena di dalamnya kebebasan terbatas individu borjuis menerapkan bentuk ilusi tentang kebebasan dan otonomi yang sempurna. Namun demikian, persoalan sebenarnya, dalam masyarakat yang tidak transparan dan tanpa kesadaran diri ego, apakah aktif hanya sebagai pemikir atau juga aktif dengan cara lain juga, juga tidak yakin akan dirinya sendiri. Dalam refleksi manusia, subjek dan objek terbelah; Identitas mereka terletak di masa depan, bukan di masa sekarang. Metode yang mengarah pada identifikasi semacam itu dapat disebut penjelasan dalam bahasa Cartesian, namun dalam penjelasan pemikiran kritis sebenarnya tidak hanya menandakan proses logis tapi juga historis yang konkrit. Seiring dengan itu, baik struktur sosial secara keseluruhan dan hubungan para teoretikus dengan masyarakat diubah, baik subjek dan peran pemikiran diubah. Penerimaan terhadap ketidakdapatberubahan mendasar antara subjek, teori, dan objek inilah yang membedakan konsepsi Cartesian dari setiap jenis logika dialektika).

Berbeda dengan Teori Tradisional, Teori Kritis hendak membebaskan masyarakatnya dari keadaan yang irasional dan menjadikannya sebagai teori yang emansipatoris alias keberpihakkan terhadap mereka yang tertindas. Beberapa cirinya adalah: Pertama, Teori Kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat. Artinya bahwa realita kehidupan pada masa Horkeimer bukan diterima sebagai sebuah realita natural melainkan akibat konstruksi yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme yang telah menjadikan segala sendiri kehidupan masyarakat menjadi sebuah komoditas yang bernilai jual. Dibalik semua peraturan, regulasi, sistem yang semuanya mendukung kehidupan modern tersembunyi sejumlah prasangka-prasangka yang dilandasi sistem ekonomi kapitalisme.Kedua, Teori Kritis bersifat historis. Artinya, Teori Kritis tidak melepaskan perikatannya dengan masyarakat sebagai totalitas dan bukan obyek yang terpisah dari realitas. Ketiga, Teori Kritis selalu menghubungkan dengan praxis. Realitas obyektif adalah produk yang berada dalam kontrol subyek. Kontrol itu dijalankan sedemikian rupa sehingga sekurang-kurangnya di masa depan realitas akan kehilangan ciri faktualitasnya semata-mata, artinya reaitas tidak berdiri sebagai sekedar fakta belaka. 

Jika diringkaskan dalam kalimat yang pendek, “Inti Teori Kritis adalah kebencian terhadap sistem filosofis yang tertutup” , demikian tulis Martin Jay. Teori Kritis selalu mencari perhubungan dibalik sebuah realitas sosial dan tidak puas hanya dengan mendeskrisikannya melainkan mengubahnya. Inilah percikkan pemikiran Karl Marx yang hidup dan dihidupkan dalam Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Kaum intelektual atau para sarjana bukan semata-mata kelas istimewa yang tidak bersentuhan dengan realita dan terpisah dari aktivitas kewarganegaraan. Sebaliknya, “...teori kritis mencoba mencari bagaimana seharusnya posisi sarjana dalam masyarakat. Dewasa ini aktivitas kesarjanaan meliputi bidang teoritis. Sedangkan aktivitas kewarganegaraan atau kemasyarakatan meliputi bidang praktis...Semua keadaan dan masa depan sebenarnya tergantung pada manusia sendiri. Dengan wewenangnya manusia dapat merancang sejarah yang diinginkannya, mengatur hubungan kerja yang semestinya, membentuk masyarakat sesuai dengan rasionalitasnya. Dengan demikian sarjana tak usah merasa asing dari alam lingkungannya. Seorang sarjana tidak perlu lagi mencari bentuk keaktifan lain, seperti ikut dalam keanggotaan partai atau pemilihan umum atau organisasi sosial atau bidang praktis lainnya karena ia merasa hanya lewat bidang praktis inilah ia dapat mempengaruhi realitas sosial” 

Pengaruh Teori Kritis Mazhab Frankfurt Terhadap Gerakkan SosialThe New Left (Kiri Baru)
Pemikiran-pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt telah mengilhami dan mendorong sebuah gerakan sosial di tahun 1960-an yang berbasis di universitas-universitas di Amerika, Jerman, Prancis, Jepang, Italia dengan melibatkan sejumlah intelektual dari kalangan mahasiswa maupun dosen serta sejumlah staf universitas. Gerakkan ini dinamai The New Left (Kiri Baru). Menurut F. Budi Hardiman, “Istilah Kiri Baru atau The New Left muncul pertama kalinya dalam majalah The New Left Review (1959) yang dikelola oleh suatu kelompok Marxis-Liberal. Nama itu sendiri diciptakkan oleh sosiolog Amerika, C. Wright Mills, tahun 1958. Istilah ‘gerakkan’ mengacu kepada berbagai macam aktivitas, seperti usaha-usaha praktis bagi perdamaian dunia, persamaan hak-hak sipil dan berbagai macam usaha memperjuangkan masyarakat alternatif. Istilah Kiri Baru dapat dipahami juga dalam perlawanannya terhadap Kiri Lama. Kiri Lama adalah parta-partai komunis (Marxisme-Leninis) dan partai-partai sosial-demokrat” . Penggunaan istilah “kiri” merujuk pada pengiblatan arus pemikiran pada Marxisme sebagai pisau analisis dan sebutan “baru” merujuk pada penolakkan bentuk-bentuk formalisasi pemikiran Marx melalui pembentukkan partai-partai semacam Sosial Demokrat di Barat.

Apa yang Gerakkan Kiri Baru perjuangkan adalah perubahan sosial historis masyarakatnya khususnya yang dikonstruksi oleh sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan berbagai berbagai masalah sosial dan ekonomi. Mereka sangat antibirokrasi dan teknologi. Bagi mereka, ilmu pengetahuan yang netral dan teknologi dalam masyarakat modern hanya menjadi legitimator banyaknya ketimpangan-ketimpangan sosial yang semakin menganga. Bidang kritik mereka meluas ke wilayah-wilayah akademis, sosial, politis dan kebudayaan.

Adapun beberapa pokok pikiran gerakkan Kiri Baru dapat disarikan dalam beberapa butir berikut. Pertama, penolakkan fokus total masyarakat pada peningkatan konsumsi material. Konsumerisme, memperlihatkan sebuah struktur penindasan masyarakat yang banyak tidak disadari dan lebih menguntungkan kepentingan industri. Kedua,mahasiswa Kiri Baru tidak puas dengan kritik teoritis. Mereka memperluas bentuk-bentuk kritik hingga dalam bentuk aksi-aksi anarkis demi memperjuangkan sebuah perubahan. Ketiga, gerakan Kiri Baru tidak mengharapkan perubahan dari struktur kekuasaan baru seperti Marxisme tradisional melainkan tumbuhnya suatu kesadaran baru pada masyarakat melalui keterlibatan pada sejumlah aksi protes terhadap sebuah kebijakkan tertentu. Keempat, mereka anti otoriter. Segala bentuk penindasan dalam sistem pendidikkan ataupun nilai dan norma masyarakat akan mereka tentang dengan membuat sistem tandingan dan alternatif. Kelima, mereka menolak sistem demokrasi parlementer dan menunur bentuk demokrasi basis yaitu dengan keterlibatan masyarakat terhadap sebuah kebijakkan pemerintah apakah mereka akan menyetujuinya atau menolaknya. Keenam, di bidang ilmu-ilmu sosial Kri Baru berkiblat pada pemikiran Teori Kristis Mazhab Frankfurt khususnya Horkeimer dan Marcuse  yang menolak metode-metode rasionalisme, empirisme ataupun segala bentuk positivisme ilmu pengetahuan. Ketujuh, sifat elitisme gerakkan. Gerakkan ini lebih banyak di dimotori oleh kelompok-kelompok terpelajar dari kalangan kelas menengah yang memiliki kemapanan secara finansial .

Nama Herbert Marcuse menjadi salah satu tokoh pemikir Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang dikiblati para mahasiswa. Dibandingkan dua tokoh lainnya yaitu Max Horkeimer dan Theodor Wiessengrund Adorno yang menola aksi-aksi demonstrasi dan anarki, Marcuse justru memberikan dorongan dan amunisi dalam banyak tulisan dan keterlibatannya dalam sejumlah aksi. Buku Marcuse yang terkenal adalam One-dimentional Man(Manusia Satu Dimensi)dimana kritik dilancarkan terhadap penyeragaman sistem kehidupan sosial di bawah rezim kapitalisme yang menyingkirkan berbagai dimensi negatif. Lazimnya dalam kehidupan sosial mensyaratkan adanya “dimensi afirmatif” yaitu berbagai pernyataan yang mendukung terhadap sebuah kebijakkan dari sebuah kekuasaan dan “dimensi negatif” yaitu berbagai pernyataan yang menolak terhadap kebijakkan sebuah kekuasan. Namun dimensi negatif ini ingin ditiadakkan sehingga yang ada hanyalah satu dimensi saja yaitu dimensi afirmatif yang intiny, “Masyarakat semacam ini mungkin hanya menuntut suatu penerimaan dari prinsip-prinsip dan institusi-institusinya untuk mengurangi oposisi dalam hal diskusi dan promosi mengenai kebijakkan-kebijakkan di dalam status quo” 

Namun gerakan Kiri Baru yang berjaya di tahun 1960-an akhirnya perlahan pudar di awal tahun 1970-an. Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap pudarnya pengaruh sosial politis mereka sebagaimana dideskripsikkan oleh F. Budi Hardiman, “Ketika suatu gerakan-gerakan ini menjadi semakin dikuasai emosi-emosi mereka dan menjadi militan, gerakan ini diresapi pul oleh suatu kebutuhan akan utopia-utopia religius. Akibatnya, terjadi pula deifikasi terhadap para pemimpin ideologis mereka, terhadap para santo politis dan penghormatan-penghormatan berbagai keagamaan terhadap teks-teks keramat teori revolusi, simbol-simbol dan relikui-relikui sekular...Kiri Baru terpecah-pecah menjadi sekte-sekte yang berbagi keagamaan yang banyak dijumpai di AS sampai hari ini sehingga menjadi tidak relevan dari arus gerakan Kiri Baru semula”. Jalan kekerasan melalui aksi-aksi anarkis dan revolusioner nyatanya bersifat kontraproduktif terhadap demokrasi yang mensyaratkan kebebasan. Sikap-sikap opresif mereka menempatkan Kiri Baru tidak ubahnya penindas-penindas baru. Herbert Marcuse akhirnya mengundurkan diri dari aksi-aksi yang diinisiasi para mahasiswa yang anarki sebagaimana dijelaskan, “Herbert Marcuse sendiri yang telah mendapat julukkan ‘Sang Nabi bagi Kiri Baru harus berkonfrontasi dengan para mahasiswa mengenai soal pelaksanaan praxis kekerasan ini. Marcuse dengan tegas menolak kebrutalan mereka...” 

Sekalipun Kiri Baru tidak berhasil menjungkirbalikkan struktur sebagaimana diimpikkan mereka dalam banyak pemikiran dan tindakkan aksi namun demikian bukan berarti kontribusi mereka tidak ada sama sekali. Sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, “Dari Kiri Baru muncul dorongan-dorongan kuat ke arah gerakkan perempuan dan feminisme, gerakan hijau, gerakan kaum homoseks dan perlawanan terhadap segala macam diskriminasi primordial...Jasdi, meskipun Kiri Baru tidak berhasil membongkar struktur-struktur kekuasaan, akan tetapi budaya di Barat betul-betul berubah (meskipun tidak hanya) karena mereka” 

Pudarnya Pengaruh Teori Kritis Mazhab Frankfurt
Sebagaimana Gerakan Kiri Baru mengalami degradasi dan menjadi kenangan historis belaka yang meninggalkan jejak-jejak pemikiran dan gerakan sosial lainnya, demikian pula pendahulunya yaitu Teori Kritis Mazhab Frankfurt mengalami kemandegan yang berakhir pada kebuntuan perihal cita-cita masyarakat emansipatoris. Frans Magnis Suseno menyoroti kepudaran pamor Teori Kritis karena, “...mereka tetap bertolak dari pengandaian-pengandaian filosofis Karl Marx. Dengan demikian Teori Kritis sudah kegagalan-kegagalan ke dalam pengandaian-pengandaiannya sendiri” . Salah satu yang disoroti secara kritis oleh Frans Magnis adalah konsepsi Teori Kritis terhadap manusia sebagai mahluk yang berkebutuhan dan mahluk yang bekerja. Bukankah kebutuhan bukanlah satu-satunya penentu identitas kemanusiaan? Apakah kebutuhan manusia hanya bekerja? Pengandaian-pengandaian terhadap manusia yang berbasiskan pemahaman Marx yang telah usang inilah yang dianggap berkontribusi bagi pudarnya pengaruh Teori Kritis

Relevansi Pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt di Abad 21
Sebagaimana Gerakan Kiri Baru tetap memberikan legacy bagi tumbuhnya gerakan-gerakan sosial di Abad 21 sekalipun tidak mampu membuat perubahan struktural sebagaimana yang diidamkan, demikianpula Teori Kritis sebagai pendahulunya tetap memiliki legacy dan relevansinya di Abad 21.

Warisan pemikiran Teori Kritis khususnya kritiknya terhadap corak berfikir positivistik yang menggunakan asumsi-asumsi ilmu alam kepada ilmu-ilmu sosial masih menjadi diskursus penting. Jurgen Habermas (generasi kedua pemikir Teori Kritis) menguraikan panjang lebar dalam bukunya, Knowledge and HumanInterest dan memandang bahwa sains sebagai bagian dari masalah dengan modernitas. Sebagaimana dijelaskan Jonathan H. Turner, “Habermas’ long statement on this point is this: Science becomes an ideology that legitimates those seeking technical control of members of a society, and this ideology contributes to what he terms a “legitimation crisis.” Like all ideologies, science as an ideology masks the interests of a sector of society, making its actions seem right and proper. And in the case the ideology of science and the political and economic actors that it legitimates, problems in the society are viewed as “technical problems” that “social engineers” can solve for society, whereas in fact, this ideology justifies the power and influence of those controlling economy and polity in a society”(Pernyataan panjang Habermas tentang hal ini adalah: Ilmu Pengetahuan menjadi sebuah ideologi yang melegitimasi mereka yang mencari kontrol teknis terhadap anggota masyarakat, dan ideologi ini berkontribusi pada apa yang dia istilahkan ‘krisis legitimasi’.Layaknya semua ideologi, sains sebagai ideologi menutupi kepentingan suatu sektor masyarakat dan  membuat tindakannya tampak benar dan tepat. Dalam kasus ideologi sains dan aktor politik dan ekonomi yang dilegitimasi, masalah di masyarakat dipandang semata-mata sebagai ‘masalah teknis’ yang dapat dipecahkan oleh para insinyur sosial bagi masyarakat, padahal sebenarnya ideologi ini membenarkan kekuatan dan pengaruh. dari mereka yang mengendalikan ekonomi dan pemerintahan dalam suatu masyarakat) 

Beberapa pengamat mungkin ingin membantah bahwa waktu untuk teori kritis sebenarnya telah berlalu dengan diterbitkannya Teori Aksi Komunikatif-nya Jürgen Habermas (1981) dan pembalikan linguistik dalam pemikiran sosial dan politik. Namun, krisis ekonomi yang terus berlanjut yang diintensifkan sejak 2008 menunjukkan bahwa sejumlah fenomena yang pertama kali didiagnosis oleh Marx dan Simmel dan kemudian diambil oleh Mazhab Frankfurt, sekolah peraturan, dan arus pemikiran lainnya, masih jauh dari penyelesaian atau ketinggalan jaman.

Perusahaan swasta dan pasar keuangan yang menghabiskan sumber daya ekonomi publik pada urutan pertama nampaknya luput dan terisolasi dari kritik sosial dan politik, sehingga membuat pembaharuan teori kritis sangat diperlukan untuk memahami karakter kekuatan yang membentuk kebijakan saat ini dan secara meyakinkan mempengaruhi pemahaman kita tentang apa yang secara politik mungkin terjadi di Abad ke-21, sebagaimana dikatakan Darrow Schecter, “A theoretical analysis of these phenomena cannot stop at an economic diagnosis of the issues at hand, since there are clearly other factors involved. This underlines the need for non-eclectic multidisciplinary social enquiry that is neither normatively naïve nor irrelevant to normative concerns in the manner of some versions of empiricism and positivist social science” (Analisis teoritis dari fenomena ini tidak dapat berhenti pada diagnosis ekonomi dari masalah yang ada, karena ada beberapa faktor lain yang terlibat. Ini menggarisbawahi perlunya penyelidikan sosial multidisiplin non-eklektik yang tidak bersifat naif secara normatif atau tidak relevan dengan masalah normatif dengan cara beberapa versi empirisme dan ilmu sosial positivis) .

Sekalipun pengandaian-pengadaian Teori Kritis dikatakan telah menyimpan potensi kemandulan dan kemandegan dikarenakan berkiblat pada pemikiran Karl Marx yang telah usang, namun sebagaimana problem-problem sosial ekonomi yang selalu menyertai modernitas dan sistem kapitalisme di Abad 21, maka kritik Karl Marx maupun pewarisnya yaitu Teori Kritis Mazhab Frankfurt tetap bergaung dan menjadi relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis sosial dengan meninggalkan asumsi-asumsi yang dilatarbelakangi persoalan sosial Abad ke-19 dan menghadapkan pada realitas Abad 21 sebagaimana dikatakan Martin Suryajaya, “Menjadi ‘Marxis’ berarti mereproduksi apa yang dikatakan Marx, menariknya dari realitas abad ke -19 dan mengutaraannya kembali di hadapan realitas abad ke-21”.

DAFTAR PUSTAKA

Buku 
Hardiman, F.Budi (2009) , Kritik Ideologi:Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius 

Horkeimer, Max (2002), Critical Theory: Selected Essays, New York: Continuum Publishing Company 

Hardiman, F. Budi (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius 

Jay, Martin (2013), Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana 

Marcuse, Herbert (2016), Manusia Satu Dimensi, Yogyakarta: Narasi 

Supraja, Muhamad (2017), Pengantar Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen Habermas,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 

Sindhunata (1983), Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern Oleh Maz Horkeimer Dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta: Gramedia

Suseno, Franz Magnis (2013), Dari Mao ke Marcuse: Percikkan Filsafat Marxis Pasca Lenin, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 

Suseno, Frans Magnis (1992), Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius 

Schecter Darrow (2013), Critical Theory in the Twenty First Century, Bloomsbury 

Suryajaya, Martin (2016), Mencari Marxisme: Kumpulan Esai, Indoprogres dan Marjin Kiri, 

Turner, Jonathan H (2014)., Theoritical Sociology: A Concise Introduction to Twelve Sociological Theories, Sage 


Majalah
Sindhunata, Berfilsafat Di Tengah Zaman Merebak Teror, Majalah BASIS No 11-12, Nov-Des 2014


Internet
Crossmen, Ashley, All About Marxist Sociology: History and Overview of a Vibrant Subfield
https://www.thoughtco.com/marxist-sociology-3026397

Karya: Teguh Hindarto, S.Sos.,M.Th

0 komentar:

Posting Komentar